Penyesalanku
Karya : Novita Sari Damanik
Aku terus melihat ayah dengan
sebal saat dia melambaikan tangannya pagi itu untuk berangkat berdagang sayuran
di pasar. Aku benar-benar menyesal telah dilahirkan dari rahim seorang wanita
berkeluarga miskin. Sekitar lima bulan lalu, ibu pergi untuk selama-lamanya.
Saat kepergian ibu, sama sekali tidak ada air mata yang menetes dari mataku.
Aku benar-benar benci keluarga miskin ini! ucapku dalam hati. Setelah ayah
sudah berbelok, aku langsung berangkat sekolah. Bagaimanapun juga, aku tidak
ingin terlihat barengan dengan pedagang sayur itu.
Di sekolah seperti biasanya..
Saat istirahat, aku hanya duduk diam di kelas. Aku
sama sekali tidak dikasih uang jajan. Penghasilan ayah yang pas-pasan setiap
harinya, hanya bisa untuk beli makan untuk di rumah saja. Bekal pun tidak ada.
Aku rasa Tuhan tidak adil! Aku benar-benar muak dengan hidupku sekarang! Ingin
sekali rasanya aku kabur dari rumah dan mencari keluarga baru yang kaya raya.
Tapi aku rasa itu tidak mungkin. Ongkos untuk kabur pun aku tidak punya.
Saat pulang sekolah, ayah sudah pulang duluan. Kulihat ayah memandangi foto ibu
yang telah usang. “Dia itu udah mati! Percuma kalo foto diliatin gitu juga
nggak bakal ngebuat dia hidup lagi!” teriakku kemudian langsung masuk ke kamar
dan membanting pintu kesal. Terdengar suara tangisan ayah. Tapi aku sudah tidak
peduli lagi. Aku kemudian tidur sambil menutup kepalaku dengan bantal gepeng
yang usang.
“Dasar anak tukang sayur! Udah miskin sok ngatur-ngatur lagi lo! Pergi lo dari
kelompok gue!” teriak Indah, salah satu temanku, dia memang anak orang kaya.
Kemudian aku pergi dari mejanya. Percuma juga jika aku meladeni bentakannya
itu, yang ada teman-teman pasti akan menertawaiku karena ucapan indah yang
menjelek-jelekkanku. Aku pun tidak akan menangis dengan ucapan Indah tadi.
Ucapan-ucapan seperti tadi sudah menjadi makanan sehari-hariku. Yah, beginilah
kehidupanku. Penuh dengan ejekan. Semua ini karena keluargaku yang miskin! Aku
benar-benar stress karena kemiskinan!
“Heh! Ganti pekerjaan kek, Bapak! Aku malu denger semua ocehan temen-temen!
Mereka selalu bilang kalo aku anak tukang sayur! Aku malu, Pak! Malu!” teriakku
pada ayah sepulang sekolah.
“May, udah sepuluh tahun Bapak kerja seperti ini. ini memang sudah pekerjaan
Bapak, May. Mana mungkin bapak menggeluti pekerjaan lain. Bapak juga tidak
punya keahlian, May. Maafkan Bapak” sahut ayah sambil menangis. Aku benci
ucapan ayah itu! Bukan itu yang aku mau!
“Bodo amat! Pokoknya Bapak nggak boleh jadi tukang sayur lagi!” bentakku
kemudian masuk ke kamar dan membanting pintu. Di kamar aku menangis. Meratapi
nasibku ini. Kenapa buruk nasibku ini? aku benci! Aku benci semuanya!
Paginya kulihat ayah duduk di depan. Dia tidak pergi ke pasar hari ini. “Pak?
Nggak jualan?” tanyaku. Ayah kemudian tersenyum padaku. “Bapak udah nggak
jualan sayur, May. Kamaren kan kamu yang bilang supaya Bapak nggak jualan
sayur. Sekarang Bapak jualan koran. Dan sebentar lagi juga Bapak berangkat”
ucap ayah kemudian. “Ish, dasar! Maksud gue nggak usah jualan sayur, ya jangan
jualan koran! Jadi insinyur kek! Biar kita kaya! Kaya raya, Pak!” bentakku
kemudian. Ayah menundukkan kepalanya. Sebal melihat ayah, aku langsung pergi
untuk berangkat sekolah. Kemudian ayah memegang pundakku dan menyodorkan
tangannya. Aku sudah kesal dengan ayah bego itu! Aku tetap pergi tanpa
menyalamya. Aku benci dia!
Tiga bulan kemudian, ayah berganti pekerjaan sebagai tukang koran. Sama saja!
Hidupku tidak berubah sama sekali. Sama seperti dulu. Tidak dapat uang jajan,
jarang makan dan tidak ada uang untuk kabur dari rumah! aku benar-benar stress
ada di rumah! mau pergi juga pergi kemana? Aku sama sekali tidak ada uang.
Bosan sekali aku di rumah ini!
Ayah pulang kemudian duduk di kursi sambil mengelap mukanya yang bercucuran
peluh. “May, tolong ambilin Bapak minum. Bapak capek sekali, May” ucap ayah
kemudian. “Heh! Enak aja nyuruh-nyuruh lo! Kalo haus, ya ambil minum sendiri!
Punya kaki kan? Kalo Bapak nggak punya kaki, baru aku ambilin!” teriakku
kemudian pergi meninggalkan ayah sendiri. Kemudian aku pergi keluar rumah. Aku
duduk duduk di kursi depan. Sebal rasanya aku dengan ayah. Sudah miskin, sok
jadi raja lagi! Minum saja minta ambilin! Punya kaki kenapa harus minta
ambilin?! Dasar ayah tidak berguna! Ucapku dalam hati dengan kesalnya.
Besoknya tiba-tiba ayah pulang dengan babak belur. Ayah meringis kesakitan
sambil memegang lukanya. Kemudian aku menghampirinya dan bertanya, “kenapa,
Pak?”. “Bapak tadi berantem, May. Ada orang yang mengambil barang berharga
punya Bapak” jawab ayah sambil meringis kesakitan. “Ish! Ngapain coba pake
berantem segala?! Kayak anak kecil aja! rebutan barang lagi! Anak kecil banget
tau nggak!” bentakku benar-benar sebal. Dasar orang tua! Sudah tua bukannya
banyak nyari uang, malah berantem kayak anak kecil! Bentakku dalam hati. Ih!
Aku benar-benar kesal dengan ayah! Sudah tua, miskin, kerjanya hanya merepotkan
saja! Rasanya aku ingin cepat kabur dari rumah ini! Rumah gubuk ini!
Malam harinya, terbelesit pikiran nakalku. Aku tau bagaimana cara kabur dari rumah
kali ini. aku berjinjit masuk pelan ke kamar ayah. Kulihat ayah sedang duduk di
kursi depan. Saat di kamar ayah, aku langsung mengobrak-abrik lemari baju ayah.
Kucari-cari sesuatu itu. Dan akhirnya... ya! Aku berhasil mendapatkannya! Uang
itu, uang untuk kabur itu. Aku berhasil mendapatkannya. Selamat tinggal miskin!
Ucapku dalam hati sambil tertawa tidak bersuara. Kemudian kumasukan uang itu ke
dalam saku baju. Aku bergegas keluar dari kamar ayah. Saat hendak keluar,
tiba-tiba ayah sudah ada di depanku. Aku terkejut melihatnya.
“Kamu kenapa ke kamar Bapak?” tanya ayah padaku. Aku memikir-mikir alasan apa
yang masuk akal.
“Emangnya nggak boleh apa ke kamar Bapak?! Miskin aja pake rahasia-rahasian
segala! Dasar miskin!” bentakku kemudian. Aku segera masuk ke dalam kamar.
Ku hitung-hitung, uangnya berjumlah empat puluh lima ribu. Untuk apa ayah
menyimpan uang sebanyak ini? dasar!. Aku berencana, nanti pagi-pagi sekali
pergi dari rumah ini. niatku sudah mantab! Aku akan pergi dari kemiskinan ini!
pergi dari ayah yang tidak berguna itu! Ucapku dalam hati dengan mantabnya.
Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap. Saat hendak keluar kamar, tiba-tiba ada
perasaan tidak enak. Aku tidak tau kenapa begitu. Hatiku ini, seperti bilang
jangan pergi. Aku takut jika nanti terjadi apa-apa dengan diriku. Setelah lama
dilema, akhirnya aku putuskan untuk tidak jadi pergi dari rumah. uang ini,
lebih baik aku simpan sendiri saja. Cukup untukku membeli baju. Apalagi..
sebenatar lagi hari ulangtahunku. Aku juga ingin bersenang-senang di hari
ulangtahunku. Akhirnya aku menyimpan kembali uang itu. Dan tidak jadi pergi
dari rumah. sangat kusesali juga. Tapi.. yasudahlah, mungkin memang ini belum
waktunya untuk kabur dari rumah
Seminggu kemudian, tepat di hari ulangtahunku, aku berdandan serapih mungkin.
Hari ini aku akan pergi ke pasar untuk membeli baju dengan memakai uang yang ku
simpan itu. Saat di perjalanan, tiba-tiba salah seorang tetanggaku
menghampiriku dan berkata, “May, May tunggu! Jangan pergi dulu! Emm.. heh..
emm.. anu... Bapakmu.. heh.. Bapakmu.. kec.. kecelakaan!”. Aku terkejut dengan
ucapan itu. Entah kenapa aku sedih dengan ucapan tetanggaku itu. Seharusnya aku
senang karena ayah kecelakaan! Jadi tidak ada yang merepotkanku lagi. Tidak ada
wajah yang menjengkelkan aku lagi. Tapi kali ini.. aku malah sedih. Saat diajak
menengok ayah pun aku mengikuti. Kenapa ini? tanyaku pada diri sendiri.
Air mataku menetes saat melihat ayah terbaring di kasur rumah sakit. Lukanya
ada dimana-mana. Diselimutnya, masih terbekas darah segar bekas darah ayah. Aku
langsung menghampiri ayah. Air mataku terus mengalir sedih. Entah mengapa, aku
kasian melihat ayah terbaring seperti ini. Memeluknya.. aku malu sekali
melakukan itu. Padahal aku sangat ingin melakukan itu.
Sejam kemudian, ayah sadar. Kemudian dipanggil-panggilnya namaku. Aku pun
segera menghampiri ayah. “May, coba tolong liatin kaki Bapak. Bapak merasa
tidak nyaman, May. Bapak bener-bener minta tolong kali ini” pinta ayah
kepadaku. Kemudian, kubuka selimut ayah dan betapa terkejutnya aku. Kaki ayah..
kaki ayah.. kaki ayah hanya tinggal sedengkul. Kaki ayah ternyata diamputasi.
Ayah tidak punya kaki lagi sekarang. Air mataku kembali mengalir saat melihat
keadaan kaki ayah sekarang. Tanpa malu, aku langsung memeluk ayah. Sakit hati ini
memeluknya. Mengingat perlakuanku kepadanya dulu.
“May, Bapak haus. Tolong ambilkan minum untuk Bapakmu ini, Nak. Kamu sendiri
yang bilang kan, jika Bapak tidak punya kaki, kamu yang akan mengambilkan minum
untuk Bapak. Sekarang.. Bapak tidak punya kaki lagi, May. Tolong ambilkan minum
untuk Bapak, Nak” ucap ayah menangis. Melihat ayah menangis, aku pun jadi ikut
menangis. Kemudian kuambilkan minum ke meja. Hatiku kembali sakit mendengar
perkataan ayah barusan. Ayah benar. Dulu aku memang pernah berkata seperti itu.
Sekarang, aku benar-benar sedih mengingat kata-kataku dulu itu pada ayah.
Ayah kemudian memegang tanganku erat. Kemudian disuruhnya aku mengambil sesuatu
di bawah tempat tidur ayah. Saat kulihat, ada baju disana.
“Untuk siapa ini, Pak?” tanyaku kemudian bingung.
“Itu.. untuk..mu, May. Se.. selamat ulang ta..aa.. hun ya, May. Maaf se... kali
karena Bapak hanya bi.. bisa memberi itu untuk... mu” jawab ayah terbata-bata.
Aku kembali menangis mendengar ucapan ayah. Kemudian aku peluk ayah dengan erat.
Kuucapkan terima kasih pada ayah.
“Se.. sebenarnya, uang ya.. ng kamu ambil wak... tu it.. tu, mau Bapak ku..
pulkan un.. untuk membeli kado un.. untukmu, Nak. Bapak ta..u karena saat Bapak
li... at lemari, u... uang itu sudah ti.. tidak ada” ucap ayah lagi. Kemudian
aku merasa bersalah dengan ayah.
“Maapin aku, Pak. Aku nggak tau kalo uang itu untuk beli kado buat
ulangtahunku. Maap, Pak” ucapku malu. Ayah hanya tersenyum padaku. Kemudian
dipeluknya aku. Aku sangat merasa bersalah pada ayah. Kenapa aku.. bisa dengan
gampangnya berlaku tidak sopan pada ayah dulu? Kelakuanku.. sama saja dengan
setan! Aku pun mengumpat diriku sendiri.
Setelah beberapa jam di rumah sakit, kemudian ayah memanggilku lagi. Aku segera
berdiri dari kursi tunggu dan mendekati ayah. Kemudian ayah berkata.
“Jaga dirimu baik-baik, May. Maaf karena Bapak tidak bisa menemanimu selamanya.
Untuk kedepannya, Bapak akan menemani ibumu disana, May. Di tempat yang jauh
itu. Bapak sudah memaafkan semua kesalahanmu. Semua kata-kata kasar darimu,
May. Karena Bapak tau, kamu bersikap begitu karena Bapak juga yang hidup miskin
begini. Sekarang, kamu bisa tenang tanpa Bapak, May. Bapak sangat menyayangimu.
Semoga nantinya kamu bisa tumbuh sebagai wanita yang soleha, May”. Setelah
berucap kemudian ayah tersenyum padaku. Sebelum akhirnya... dia memejamkan
matanya dengan kedamaian.
“Bapakk!!!! Bapak!!! Jangan tinggalin May, Pak!!! Bangun, Pak!!!! May takut
sendirian, Pak!!! May minta maap dengan semua kata-kata May, Pak!!!!! Bapak
bangun!!!!! Bapakkkk!!!!!!” teriakku sambil menggoyang-goyangkan tubuh ayah.
Tapi ayah sudah tidak mendengar teriakanku lagi. Dia tetap tertidur. Dia diam
tidak bergeming. Aku menangis. Kemudian teringat kembali saat aku mengatakan
kata-kata kasar kepada ayah. Ayah yang selama ini ternyata selalu menyayangiku.
Ini ulangtahun terakhirku bagi ayah. Dan dihari ulangtahun ini, terakhir
kalinya aku melihat ayah. Kado terakhir ini... akan aku kenang sampai aku mati.
Bapak, maafkan aku, ucapku dalam hati. Tak kuasa aku menahan tangis ini. Ayah
sudah tidur untuk selama-lamanya
Saran dan Motivasi buat Sobat Kreatif dari Dokter Motivasi dan Tips Hijau Smanli..
Buat sobat kreatif semua. Simak ni Motivasi dan Tips yang akan dibagikan Dokter Motivasi dan Tips Hijau Smanli. Sobat kreatif., Kamu jangan pernah durhaka
kepada orang tuamu. Tapi, sayangi dan berilah dia kasih sayangmu, yang tulus darimu
selagi mereka ada, hingga mereka akan menghembuskan nafas terakhirnya. Jangan sampai kamu menyesal dikemudian hari.. Penyesalan datangnya terlambat. Ingatlah itu! Semoga bermanfaat buat kamu #HijauSmanli
Jika kamu mempunyai Cerpen atau
Puisi yang ingin kamu bagikan kepada sobat kreatif. Kamu dapat mengirim Cerpen
atau Puisi kamu ke email kita di : hijau.smanli@yahoo.co.id Jangan lupa untuk mencantumkan identitas kamu
Salam Kreatif,
Yang Muda Yang Kreatif..
Yang Muda Yang Kreatif..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar